Sukses Mengapai Impian

Posted and Share on : Monday, 25 March  2024  /  28 Ramadhan 1445 HBy : Nur Sahid Bn DT .

                                       ˙·•● بسم الله الرحـمن الرحيم ●•·

 ********************************************************

Mengapa Mencari Rezeki Yang Haram Padahal Rezeki Telah Dijamin?

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Tak pernah merasa kekurangan sedikitpun karena Allah Maha Banyak Memberi rezeki

Sebagaimana sudah diketahui dari artikel sebelumnya, bahwa Allah Ta’ala adalah اَلرَّزَّاقُ (Ar-Razzaq [Yang Banyak Memberi rezeqi]) karena اَلرَّزَّاقُ merupakan bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata اَلرَّازِقُ (Pemberi rezeki), maka ini menunjukkan kepada makna banyak. Yaitu menunjukkan banyaknya rezeki yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya dan juga menunjukkan banyaknya hamba-hamba-Nya yang mendapatkan rezeki tersebut.

Sehingga اَلرَّزَّاقُ  (Ar-Razzaq) artinya Yang Banyak Memberi rezeqi. Dia memberi rezeki yang satu kemudian rezeki yang lain dalam jumlah yang sangat banyak untuk seluruh makhluk-Nya.

Setiap makhluk yang berjalan di muka bumi ini pasti diberi rezeki, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (Huud: 6).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

أي: جميع ما دب على وجه الأرض، من آدمي، أو حيوان بري أو بحري، فالله تعالى قد تكفل بأرزاقهم وأقواتهم، فرزقهم على الله

“Maksudnya, seluruh yang berjalan di muka bumi ini, baik dari kalangan manusia (keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam), maupun binatang, baik binatang darat maupun laut, maka Allah Ta’ala telah menjamin rezeki dan makanan mereka. Jadi, rezeki mereka dijamin oleh Allah” (Tafsir As-Sa’di, hal. 422).

Berarti kita harus meyakini bahwa rezeki kita sudah dijamin oleh Allah Ta’ala. Bahkan rezeki kita telah ditulis sebelum kita terlahir di dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Kemudian diutuslah Malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Rezeki yang telah ditulis untuk kita pasti akan sampai ke kita. Tidaklah mungkin satu suap makanan yang sudah menjadi jatah kita akan masuk ke mulut orang lain. Seseorang tidaklah akan mati jika masih ada satu butir nasi saja yang menjadi jatahnya belum ia makan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, karena tidaklah suatu jiwa akan mati hingga terpenuhi rezekinya, walau lambat rezeki tersebut sampai kepadanya, maka bertakwalah kepada Allah dan pilihlah cara yang baik dalam mencari rezeki, ambillah rezeki yang halal dan tinggalkanlah rezeki yang haram” (HR. Ibnu Majah, dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya).

Seandainya sekarang seluruh manusia bersepakat untuk menghalangi rezeki yang yang telah Allah tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka akan gagal. Sebaliknya, sekarang seandainya seluruh manusia bersepakat untuk memberi Anda sesuatu yang tidak Allah tetapkan untuk Anda, maka pastilah mereka tidak akan mampu melakukannya.

اللهم لا مانع لما أعطيت و لا معطي لما منعت

“Ya Allah, tidak ada satupun yang mampu mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak pula ada satupun yang mampu memberi sesuatu yang Engkau cegah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, serta yang lainnya).

Jatah rezeki Anda sudah ditetapkan, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk merasa kekurangan. Bukankah tidak ada satu pun dari makhluk  yang mampu mengurangi jatah rezeki Anda? Jika demikian, maka tidak mungkin jatah Anda bisa berkurang. Mengapa harus merasa kekurangan?

Jika Anda mengatakan “Tapi, rezeki yang saya dapatkan sedikit, jadi saya merasa kurang, cari rezeki halal sulit dan lama kayanya! Saya ingin cepat kaya! Rezeki haram lebih cepat dan mudah didapat, apa boleh buat!” Maka kami katakan kepada Anda “Mengapa harus menerjang yang haram padahal rezeki telah dijatah?

Ketahuilah! Bahwa orang yang merasa tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya selama ini dan merasa kurang, lalu mencarinya dengan cara yang haram, ini setidaknya ada tiga kemungkinan:

  1. Ia malas mencari rezeki dengan cara yang halal atau kurang sungguh-sungguh dalam bekerja.
  2. Ia sudah bekerja maksimal dalam mencari rezeki yang halal, tapi masih merasa kurang.
  3. Ia sudah kaya, tapi masih pula merasa kurang.

Nasihat untuk orang yang pertama, hakikatnya ia sangatlah tidak pantas merasa kekurangan, karena ia belum berusaha dengan maksimal. Adapun untuk orang yang kedua dan ketiga, maka setidaknya ada dua kemungkinan penyebabnya:

  1. Ia sudah tahu sikap dan prinsip hidup seorang muslim yang benar dalam masalah rezeki, lalu nekad melanggarnya.
  2. Kurang atau tidak tahu sama sekali tentang sikap dan prinsip itu, sehingga ia terjatuh kedalam pelanggaran.

Wabillaahi nasta’iin, penjelasan berikut, semoga bisa menjadi obatnya.

Sikap yang benar terhadap rezeki

1. Rezeki atas kehendak Allah ‘Azza wa Jalla

Sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim terhadap rezeki adalah Allah-lah satu-satunya Sang Pemilik dan Pemberi rezeki hamba-hamba-Nya. Maka di dalam membagikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya. Allah memberi sebagian makhluk dan mencegah pemberian untuk sebagian yang lain sesuai dengan ilmu, hikmah (kebijaksanaan), dan keadilan-Nya. Demikian juga masalah banyaknya rezeki yang diberikan kepada para hamba-Nya, Allah memberikan kepada sebagian mereka rezeki yang banyak, sedangkan kepada sebagian yang lain sedikit saja. Semua terserah Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, Allah tidak akan pernah zalim kepada mereka. Karena semuanya sesuai dengan  ilmu,hikmah (kebijaksanaan) dan keadilan-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman,

وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (Al-Baqarah: 212).

Syaikh Abdur Rahmân bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

ولما كانت الأرزاق الدنيوية والأخروية, لا تحصل إلا بتقدير الله, ولن تنال إلا بمشيئة الله، قال تعالى: { وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ}

“Tatkala rezeki duniawi maupun rizki akhirat tidak akan dapat diperoleh kecuali dengan takdir Allah dan tidak bisa didapatkan kecuali dengan kehendak Allah, maka Allah pun berfirman {وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ}” (Tafsir As-Sa’di, hal. 95).

Allah Maha Mengetahui tentang orang yang jika dikayakan, maka kekayaannya membuatnya melupakan Allah. Dan Allah pun Maha Mengetahui bahwa ada orang yang jika dijadikan miskin, ia mampu bersabar dan beribadah kepada-Nya.

Jika ini dipahami, maka seorang hamba tidak protes terhadap jatah rezekinya, bahkan qona’ah (menerima dan rela) atas jatah rezekinya sembari meyakini bahwa hal ini adalah pilihan Allah yang terbaik baginya. Ia meyakini juga bahwa Allah lebih mengetahui dan lebih sayang terhadap diri hamba-Nya daripada hamba itu sendiri. Dengan demikian ia tidak nekad menerjang yang haram. Walaupun rezeki halal yang diperolehnya sedikit, namun itu adalah yang terbaik bagi dirinya.

2. Tujuan penciptaan (tujuan hidup) dan tujuan pemberian rezeki

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

إنما خَلَقَ الله الخَلْقَ، ليَعبُدوه، وإنما خَلَقَ الرزقَ لهم ليَسْتَعِيُنوا به على عبادته

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk hanya untuk beribadah kepada-Nya dan Allah menciptakan rezeki untuk mereka semata-mata agar mereka gunakan rezeki tersebut untuk beribadah kepada-Nya” (Majmu’ul  Fatawa Imam Ibnu Taimiyyah, kitabul Iman, dari http://madrasato-mohammed.com/book232.htm).

Jika seseorang tahu tujuan hidupnya dan tujuan Allah memberinya rezeki, maka ia akan membenci rezeki haram dan tidak mau mencari rezeki haram, karena rezeki haram tidak bisa ia gunakan untuk beribadah kepada Rabbnya, bahkan menyebabkan datangnya siksa Allah. Jika memperoleh rezeki yang halal pun ia tidak gunakan secara berlebihan, sehingga ia merasa cukup dengan rezeki yang halal dan tidak membutuhkan rezeki yang haram.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa sikap seorang mukmin yang benar  berbeda dengan sikap hidup orang-orang kafir:

بخلاف المؤمن فإنه وان نال من الدنيا وشهواتها فإنه لا يستمتع بنصيبه كله ولا يذهب طيباته في حياته الدنيا بل ينال منها ما ينال منها ليتقوى به على التزود لمعاده

“Lain halnya dengan seorang mukmin, meskipun mendapatkan perolehan dunia (yang halal) dan kesenangannya, namun tidak akan ia pergunakan untuk bersenang-senang semata, dan tidak akan ia pergunakan untuk menghilangkan kebaikan-kebaikannya selama hidup di dunia. Tetapi akan ia pergunakan perolehan dunia (yang halal) itu untuk memperkuat diri dalam mencari bekal di akhiratnya kelak” (Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qoyyim, hal. 197).

Jadi, profil seorang mukmin adalah boro-boro mencari rezeki yang haram, memperoleh rezeki yang halal saja, ia pergunakan dengan baik untuk beribadah kepada Allah.

3. Memahami hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki

Orang yang tidak puas dengan rezeki halal yang didapatkannya, padahal ia sudah berusaha mencarinya dengan maksimal, lalu ia mengikuti hawa nafsunya dengan mencari rezeki dengan cara yang haram, maka hakikatnya ia tidak memahami hakikat perbuatan Allah memberi dan mencegah rezeki. Ketahuilah, bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya, Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Dia” (Asy-Syuuraa:11).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hakikat Allah memberi dan mencegah rezeki,

Demikianlah Ar-Rabb (Allah) Subhanahu, tidaklah mencegah hamba-Nya yang beriman mendapatkan sesuatu dari dunia, melainkan memberinya rezeki yang lebih utama dan lebih bermanfaat, dan hal itu tidaklah didapatkan oleh selain Mukmin. Karena sesungguhnya, Allah mencegah seorang mukmin dari mendapatkan suatu jatah rezeki yang rendah dan sepele dan tidak meridhoi itu untuknya dengan tujuan untuk memberinya bagian rezeki yang lebih tinggi dan mahal. Sedangkan seorang hamba, disebabkan ketidaktahuannya terhadap perkara yang bermanfaat bagi dirinya dan terhadap kedermawanan, kebijaksanaan dan kelembutan Rabb nya, maka ia tidak mengetahui perbedaan antara sesuatu yang ia tercegah dari mendapatkannya, dengan sesuatu yang disimpan untuknya, bahkan ia sangat tergiur dengan kenikmatan (duniawi) yang disegerakan walaupun rendah nilainya, dan (sebaliknya) begitu rendahnya kecintaannya kepada kenikmatan (abadi/pahala) yang ditunda walaupun tinggi nilainya. Kalau seandainya, seorang hamba itu bersikap adil dalam memandang Rabb nya -namun, kapankah ia bisa bersikap demikian?- tentu ia akan mengetahui bahwa karunia-Nya untuknya yang terdapat di dalam pencegahan-Nya (kepadanya) dari (mendapatkan) dunia dan kelezatannya serta kenikmatannya hakikatnya lebih agung daripada karunia-Nya untuknya yang terdapat di dalam pemberian-Nya berupa dunia tersebut. Jadi, tidaklah Allah mencegah hamba tersebut (dari mendapatkan sebagian dari dunia) kecuali untuk memberinya (rezeki yang lebih tinggi), tidaklah menimpakan kepadanya cobaan kecuali untuk menjaganya (dari keburukan), tidaklah mengujinya kecuali untuk mensucikannya (dari dosa), tidaklah mematikannya (di dunia) kecuali untuk menghidupkannya (di Surga)” (Fawaidul Fawaid , libnil Qoyyim, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, hal. 83).

4. Jenis rezeki yang terpenting

Dalam artikel Macam-macam rezeki dan Faidah dari mengimani Nama الرَزَّاقُ (Ar-Razzaaq), telah disebutkan perbedaan antara rezeki umum dengan yang khusus, sebagai berikut kesimpulannya:

  1. Rezeki Allah terbagi dua umum dan khusus.
  2. Rezeki umum terbagi dua, halal dan haram. Berarti orang kafir atau muslim yang fasik, yang mencari atau memakan rezeki yang haram, ia dikatakan telah terpenuhi jatah rezekinya, namun ia tetap dikatakan berdosa karena mencari atau memakan rezeki yang haram.
  3. Rezeki khusus terbagi dua, rezeki hati (ilmu dan amal) dan badan (rezeki dunia yang halal).
  4. Rezeki hati adalah tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki badan adalah sarana menuju kepada tujuan terbesar tersebut, maka jangan terlena dengan sarana dan lupa tujuan.
  5. Barangsiapa diberi dua macam rezeki khusus sekaligus, berarti kebutuhannya telah tercukupi dengan sempurna, baik kebutuhan beragama Islam maupun kebutuhan jasmaninya. Dia menjadi hamba Allah yang berbahagia di dunia dan Akhirat.

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa rezeki hati, berupa ilmu dan amal adalah tujuan terbesar dan yang terpenting, sedangkan rezeki badan, berupa rezeki dunia yang halal adalah sarana tercapainya tujuan terbesar itu, maka harusnya,

  1. Yang menjadi perhatian utama seorang hamba adalah mendapatkan rizki hati berupa ilmu, petunjuk,iman dan amal.
  2. Mencari rezeki badan (duniawi) bagi seorang mukmin, tidak lepas dari konteks mencari rezeki yang terpenting, yaitu rezeki hati (ilmu dan amal), karena rezeki badan sarana bagi rezeki hati, ditambah lagi bahwa tujuan pemberian rezeki adalah untuk digunakan beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
  3. Tidak mencari rezeki yang haram, karena terdapat ancaman yang keras bagi pelakunya.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang akibat pekerjaan yang haram, silahkan Anda membaca tulisan Al-Ustadz Muhammad Tausikal hafizhahullah di http://rumaysho.com/muamalah/mencari-pekerjaan-yang-halal-9616

***

Referensi:

  1. Al-Haqqul Waadhihul Mubiin, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, PDF
  2. Fawaidul Fawaid ,libnil Qoyyim, Syaikh Ali Hasan Al-Halabi.
  3. Miftahu Daris Sa’adah, Ibnul Qoyyim
  4. Tafsir Abdur Rahman As-Sa’di.

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/24985-mengapa-mencari-rezeki-yang-haram-padahal-rezeki-telah-dijamin.html

***************************************

************************************************
Agar Tak Kecewa Setelah Melakukan Ikhtiar
Ketika sudah melakukan sebab maka bertawakallah kepada Allah dan sabar serta ridha dalam menyikapi hasil yang diberikan oleh AllahBismillahirrahmanirrahim.Tahukah Anda, di negeri dengan penduduk yang terkenal dengan orang-orang workaholic atau mempunyai komitmen yang tinggi untuk bekerja sekalipun seperti Jepang ternyata memiliki 25 ribu gelandangan. Sejumlah 1.697 diantaranya berada di Tokyo. Mayoritas dilatar belakangi kegagalan. Ketika mereka mengalami kegagalan dalam sebuah rencana, mereka akan menghilangkan identitas dirinya dengan menjadi gelandangan; meninggalkan rumahnya, meninggalkan keluarganya karena mereka merasa malu dengan kegagalan yang dialami, bahkan sampai pada puncaknya ada diantara mereka yang sampai bunuh diri. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki tawakal dan mereka tidak tau konsep bagaimana ridha pada keputusan Allah subhanahu wata’ala dan hal itu berangkat karena mereka tidak memiliki Tuhan.Diantara hal yang perlu kita perhatikan ketika kita memiliki rencana adalah tawakalkan rencana tersebut pada Allah dan ridha pada semua keputusan Allah setelah menyelesaikan rencana. Sebagaimana penjelasan syaikul islam Ibnu Taimiyyah radhiyallahu ‘anhu ketika seorang manusia memiliki rencana maka didepannya ada takdir, bagaimana sikap yang tepat agar tidak selalu memikirkan rencana agar hati kita tidak bergantung dengan sebab yang kita milikidan hati kita tidak merasa kehilangan ketika mengalami kegagalan:Tawakal pada Allah ketika kita memiliki rencana
Ridha pada semua keputusan Allah setelah melakukan rencanaJika seseorang bisa menyeimbangkan dua hal ini setiap dia memiliki rencana maka insyaallah dia tidak akan terlalu bergantung dengan sebab dan tidak akan merasa kehilangan ketika dia mengalami kegagalan.
Jangan Bergantung pada SebabBersemangatlah dan jangan malas dalam ikhtiar dengan mengambil sebab, namun sebagai insan yang beriman pada takdir Allah kita tidak boleh hanya bergantung pada sebab. Ketika sudah melakukan sebab maka bertawakallah kepada Allah dan sabar serta ridha dalam menyikapi hasil yang diberikan oleh Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan janganlah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan ‘seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah ‘Qaddarullah wa maa sya’a fa’ala’. Karena perkataan ‘seandainya’ akan membuka pintu syetan”. (HR. Muslim)
Tentang Tawakal

Barangsiapa yang mewujudkan takwa dan tawakal akan dapat menggapai seluruh kebaikan din dan dunianya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya jalan keluar dan memberi dia rezki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Alah, maka Dia itu cukup baginya” (Ath-Thalaq : 2-3)

Tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allah dalam rangka mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan menghilangka sesuatu yang tidak disukai, disertai rasa yakin dan diiringi dengan melakukan sebab-sebab yang diperbolehkan. Tawakal harus mencakup dua perkara. Pertama, yaitu bersandarnya hati kepada Allah dengan jujur dan yakin sebenar-benarnya. Kedua, yaitu harus disertai dengan mengambil sebab-sebab yang diperbolehkan oleh syariat untuk mencapai tujuannya tersebut.

Barangsiapa yang lebih banyak bersandar kepada sebab maka kurang rasa tawakalnya pada Allah dan telah menafikan penjagaan Allah. Seolah-olah dia menjadikan sebab semata sebagai sandaran yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang dia inginkan atau menghilangkan sesuatu ynang tidak disukai. Sebaliknya barangsiapa yang hanya bersandar kepada Allah namun tidak disertai usaha mengambil sebab, berarti telah mencela hikmah Allah Ta’ala,karena hanya Allah yang menjadikan segala sesuatu dengan sebab.

Dari Umar bin Khaththab dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, ”Jikalau kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberikan rezki kepada kalian seperti seekor burung. Pagi-pagi ia pergi dalam keadaan lapar da pulang disore hari dalam keadaan kenyang”. (HR. At-Tirmidzi).
Sabar dan Ridha

Sehubungan dengan apa yang tidak disukainya, seorang hamba bisa menempati salah satu dari dua derajat yaitu ridha atau sabar. Ridha adalah yang lebih utama, adapun sabar hukumnya wajib bagi setip insan yang beriman.

Sabar adalah menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita yang dihadapiya segera hilang. Sementara ridha adalah berlapang dada atas ketetapan Allah dan membiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya karena keridhaan menghilangkan deritanya disebabkan hatinya dipenuhi oleh ruh yakin dan ma’rifah. Bila ridha semakin kuat, ia mampu menepis seluruh rasa sakit dan derita. Hanya saja, Cuma mereka yang berma’rifah dan bermahabah saja yang dapat mencapai tingkatan ridha. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpa karena mereka tahu bahwa musibah itu datang dari Dzat yang dicintainya.

Anas bin Malik meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda yang artinya “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha niscaya ia akan mendapatkan ridhNya. Barangsiapa kesal dan benci niscaya ia akan mendapatkan murkaNya”. (HR. At-Tirmidzi)

Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Allah menjadikan kesejahteraan dan kegembiraan pada yakin dan ridha; serta menjadikan kesusahan dan kesedihan pada keraguan, kekesalan dan kemurkaan”.

***

Referensi :

Al-Qur’anul karim
Adika Mianoki. 2014. Jawaban 3 Pertanyaan Kubur. Yogyakarta: Pustaka Muslim
Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, & Imam Al-Ghazali. 2004. Tazkiyatun Nafs Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafusshalih. Solo: Pustaka Arafah
Caramah pendek “Gelandangan Jepang” – Ustadz Ammi Nur Baits (www.yufid.tv.com), link ceramah pendek “Gelandangan Jepang” https://youtu.be/1JOLgMy2d9Y

Penulis: Atma Beauty Muslimawati

 ********************************************

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Wahai sahabatku…Jika engkau melihatku dalam kemaksiatan atau dalam kesalahan… Nasehati aku, dan luruskan arah jalanku.Jangan khawatir itu akan mengganggu perasaanku, atau menyempitkan dadaku.Aku rela merasakan sempitnya hidup sesaat di dunia… Daripada aku rasakan sempitnya hidup di akherat sepanjang masa.
_______________________________________________________________
Dear visitor, Welcome to my Blog and Thanks you for choosing Wolusongo Indonesian webblog share to the world. We hope this blog will continue remembered by your.

Untuk Ramadhan Yang Lebih Baik

August 13, 2009. Dikirim Sutikno bin Tumingan dalam Fiqih Muslimah, Puasa | 8 komentar

Ramadhan adalah satu dari dua belas nama bulan dalam setahun. Karena itu setiap tahun Ramadhan datang menjumpai kita. Banyak yang merasa beruntung karena telah berkali-kali menjumpai kedatangan bulan Ramadhan.  Artinya, bisa berkali-kali pula berpuasa di bulan Ramadhan.Pertanyaannya adalah, apakah amal perbuatan kita selama puasa Ramadhan dari tahun ke tahun sudah berkualitas. Ataukah Ramadhan sekadar dirasakan sebagai bulan yang datang sebagai rutinitas dengan puasa dan sibuk menyiapkan menu pilihan buka bersama? Atau jangan-jangan kita masih merasakan kedatangan bulan Ramadhan sebagai beban karena harus berpuasa selama sebulan utuh? Jawaban untuk pertanyaan itu bisa beragam antara satu orang dengan yang lain.  Tetapi, idealnya, setiap orang mempunyai semangat yang sama untuk menjalani hari-hari Ramadhan yang semakin baik dan bertambah baik dari tahun ke tahun.  Kalau sudah ada semangat, usaha ke arah itu secara lebih nyata akan lebih mudah, insya Allah. Untuk menjalani Ramadhan secara lebih baik hendaknya dimulai sejak sebelum kedatangannya.  Sambut Ramadhan dengan melakukan berbagai persiapan. BERSIAP UNTUK MENYAMBUTNYA Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat pun dulu sangat bersemangat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Mereka serius mempersiapkan diri agar bisa memasuki bulan Ramadhan dan melakukan berbagai amalan dengan penuh keimanan, keikhlasan, semangat, giat, dan tidak merasakannya sebagai beban. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut Ramadhan, tamu yang istimewa ini.Untuk memudahkan mungkin bentuk persiapan bisa kita rincikan sebagai berikut: 1. Persiapan Nafsiyah Yang dimaksudkan dengan mempersiapkan nafsiyah adalah menyambut dengan hati gembira bahwasanya Ramadhan datang sebagai bulan untuk mendekatkan diri pada Allah Subhanahu waTa’ala. Jiwa yang siap memandang Ramadhan bukan sebagai bulan penuh beban, melainkan bulan untuk berlomba meningkatkan kualitas ubudiyah dan meraih derajat tertinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.Persiapan nafsiyah merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya memetik manfaat sepenuhnya dari ibadah puasa. Tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa) akan melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakalan, dan berbagai amalan hati lainnya, yang akan menuntun seseorang kepada jenjang Ibadah yang berkualitas dengan kuantitas optimal. Seorang yang menjalani ibadah puasa di Bulan Ramadhan tanpa memiliki kesiapan secara nafsiyah dikhawatirkan puasanya akan menjadi kurang bermakna atau bahkan sia-sia, lebih parah lagi jika menjadi gugur.Persiapan penting yang harus kita takukan adalah persiapan mental. Mempersiapkan diri secara mental tidak lain adalah mempersiapkan ruhiyah kita serta membangkitkan suasana keimanan dan memupuk spirit ketakwaan kita. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak amal ibadah. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberikan contoh kepada kita semua. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.Ummul Mukmin Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:

“Aku belum pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan dan aku belum pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa dibandingkan pada bulan Sya’ban.”1

Puasa bulan Sya’ban itu demikian penting dan memiliki keutamaan yang besar dari pada puasa pada bulan lainnya, tentu selain bulan Ramadhan. Sedemikian pentingnya dan utamanya sampai Imran bin Hushain menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seorang sahabat,

“Apakah engkau berpuasa pada akhir bulan (Sya’ban) ini?’ Laki-laki itu menjawab, Tidak!’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian bersabda kepadanya, ‘Jika engkau telah selesai menunaikan puasa Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya.”2

Walhasil, puasa Sya’ban, di samping berbuah pahala yang besar dan keutamaan di sisi Allah, merupakan sarana latihan guna menyongsong datangnya Ramadhan. 2. Persiapan Tsaqafiyah Untuk dapat meraih amalan di bulan Ramadhan secara optimal diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai fiqh al-Shiyam. Oleh karena itu persiapan tsaqafiyah tidak kalah penting bagi seseorang untuk mendapatkan perhatian yang serius. Dengan pemahaman fikih puasa yang baik seseorang akan memahami dengan benar, mana perbuatan yang dapat merusak nilai shiyamnya dan mana perbuatan yang dapat meningkatkan nilai dan kualitas shiyamnya. Orang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya. Suatu amal perbuatan tanpa dilandasi ilmu, kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara berpuasa yang benar sesuai syariat Islam. Jembatan menuju kebenaran adalah ilmu, dan siapa yang menempuh perjalanan hidupnya dalam rangka menuntut ilmu maka Allah Subhanahu wa Taala akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan [memudahkan] dengannya jalan dari jalan-jalan kesurga”3

3. Persiapan Jasadiyah Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas Ramadhan banyak memerlukan kekuatan fisik, untuk shiyamnya, tarawihnya, tilawahnya, dan aktivitas ibadah lainnya. Dengan kondisi fisik yang baik akan lebih mampu melakukan ibadah tersebut tanpa terlewatkan sedikitpun, insya allah. Bila kondisi fisik tidak prima akan berpotensi besar kesulitan melaksanakannya amaliyah tersebut dengan maksimal, bahkan dapat terlewatkan begitu saja. Padahal bila terlewatkan nilai amaliah Ramadhan tidak semuanya bisa tergantikan pada bulan yang lain. 4. Persiapan Maliyah Hendaknya persiapan materi ini tidak dipahami sekadar untuk beli pakaian baru, bekal perjalanan pulang kampung atau untuk membeli pernik-pernik jajanan ‘Idul fithri. Hendaknya maliyah yang ada dipersiapkan untuk infaq, sedekah, dan zakat. Sebab nilai balasan infak dan sedekah akan dilipatgandakan sebagaimana kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap amal bani Adam dilipatgandakan, kebaikan diganjar sepuluh kali lipat yang sepadan dengannya hingga sampai 700 kali lipat, bahkan hingga sampai kepada apa yang Allah kehendaki. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu untukku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. la meninggalkan syahwat dan makannya hanya karena Aku.’Bagi orahg yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan tatkalaia berbuka dan kegembiraan tatkala ia bertemu dengan Rabb-nya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu adalah lebih harum di sisi Allah dibandingkan harumnya kesturi.”4

Bulan Ramadhan merupakan bulan muwasah (santunan). Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain, betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat oleh orang yang tidak punya, manakala ia memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun cuma sebuah kurma, seteguk air, atau sesendok nasi.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan ini sangat dermawan, sangat pemurah. Digambarkan bahwa sentuhan kebaikan dan santunan Rdsulullah Shallallahu Alaihi waSallam kepada masyarakat sampai merata, lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di sekitarnya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma,

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau akan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril. Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan kepadanya al-Quran. Sungguh, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.”5

Santunan dan sikap ini sudah barang tentu sulit dilakukan dengan baik jika tidak ada persiapan materi yang memadai. Termasuk dalam persiapan maliyah adalah mempersiapkan dana, sehingga tidak terpikir beban ekonomi untuk keluarga, agar dapat beri’tikaf dengan tenang. Untuk itu, mesti dicari tabungan dana yang mencukupi kebutuhan di bulan Ramadhan. PADATI  DENGAN AKTIVITAS KEBAIKAN Persiapan-persiapan tersebut akan lebih membantu kita dalam menapaki hari-hari Ramadhan dengan lebih baik, insya Allah.  Sebelumnya kita perlu menumbuhkan motivasi dengan melakukan perenungan untuk mendapatkan kesadaran betapa besarnya keutamaan shiyam.  Banyak hadits yang bisa membangkitkan motivasi tersebut.  Di antaranya adalah:

“Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah pintu yang disebut Royyan.  Orang-orang yang berpuasa masuk darinya pada hari kiamat, dan tidak ada seorang pun selain mereka yang dapat  memasukinya.  Apabila mereka telah memasukinya, pintu tersebut ditutup, dan tidak ada lagi seorang pun yang dapat memasukinya.”((Shahih al-Bukhari juz 7 hal.174 no.1896))

Dengan meyakini dan menyadari keutaman orang yang berpuasa, kita akan terlecut untuk menjalani dengan baik,  Hendaknya kita pun menyiapkan program-program amal kebaikan yang akan kita lakukan selama bulan Ramadhan.  Ramadhan mestinya ktia padati dengan aktivitas kebaikan.Sebaliknya, berbagai keburukan yang sebelumnya dianggap sepele, saat Ramadhan harus kita jauhi sekuat mungkin.  Banyak hadits yang memberikan peringatan kepada kita agar membuang jauh-jauh perbuatan sia-sia demi tercapainya kualitas puasa kita.  Puasa menuntut dan menuntun kita menjadi orang yang berakhlak baik, menjauhi kekufuran, menjauhi mencela agama, dan menjauhi muamalah yang buruk terhadap manusia.  Puasa itu mendidik kebaikan jiwa dan tidak memperburuk akhlak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengumpat dan berkata kasar.  Apabila ada seorang yang mencela atau menganiayanya, maka katakanlah sesungguhnya aku adalah orang yang tengah berpuasa”6

Dengan berbagai uraian di atas kita berharap di Ramadhan kali ini tidak termasuk dalam jajaran yang disinyalir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidaklah mendapatkan dari puasanya melainkan hanya dahaga”7

Semoga Ramadhan kita bukanlah sekadar hari-hari lapar dan haus.Kiranya kita mampu menjadikan Ramadhan sebagai bulan ketaatan, untuk mengikatkan diri dengan seluruh syariatnya.Bulan Ramadhan adalah bulan muraqabah.  Shaum yang kita lakukan semoga mampu mengajari kita untuk senantiasa merasa diawasi Allah.  Ramadhan kali ini semoga menjadi bulan pengorbanan kita di jalan Allah.  Kita coba, paling tidak, untuk berkorban dengan menahan rasa lapar dan haus demi meraih derajat ketakwaan kepada-Nya. Takwa adalah puncak pencapaian ibadah shaum ramadhan.Perwujudan takwa secara individu tidak lain adalah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.Adapun perwujudan takwa secara kolektif adalah dengan menerapkan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan oleh kaum muslimin.  Inilah kiranya timbangan bahwa Ramadhan kali ini lebih baik.


diketik Ulang oleh Sutikno dari Majalah Fatawa, rubrik ‘Aktual’ halamanan: 8-11 edisi khusus Ramadhan-Syawwal 1430, Agustus-September 2009


Catatan kaki:

  1. Shahih al-Bukhari juz VII hal. 298 no. 1969 []
  2. Shahih Muslim juz II hal. 818 no.200 dan Sunan Abi Dawud juz VII hal. 112 no.2330 []
  3. Sunan Abi Dawud juz 11 hal. 34 no. 3643 []
  4. Shahih Muslim juz III hal. 158 no. 2763 []
  5. Shahih al-Bukhari juz I hal. 6 no. 6 []
  6. Shahih wa Dhaif al Jami’ al Shaghir juz XVI hal.424 no.7777 []
  7. Musnad Ahmad juz II hal.441 no.9682 []

– See more at: http://jilbab.or.id/archives/701-untuk-ramadhan-yang-lebih-baik/#sthash.Rjh9lVcd.dpuf

Untuk Ramadhan Yang Lebih Baik

August 13, 2009. Dikirim Sutikno bin Tumingan dalam Fiqih Muslimah, Puasa | 8 komentar

Ramadhan adalah satu dari dua belas nama bulan dalam setahun. Karena itu setiap tahun Ramadhan datang menjumpai kita. Banyak yang merasa beruntung karena telah berkali-kali menjumpai kedatangan bulan Ramadhan.  Artinya, bisa berkali-kali pula berpuasa di bulan Ramadhan.Pertanyaannya adalah, apakah amal perbuatan kita selama puasa Ramadhan dari tahun ke tahun sudah berkualitas. Ataukah Ramadhan sekadar dirasakan sebagai bulan yang datang sebagai rutinitas dengan puasa dan sibuk menyiapkan menu pilihan buka bersama? Atau jangan-jangan kita masih merasakan kedatangan bulan Ramadhan sebagai beban karena harus berpuasa selama sebulan utuh? Jawaban untuk pertanyaan itu bisa beragam antara satu orang dengan yang lain.  Tetapi, idealnya, setiap orang mempunyai semangat yang sama untuk menjalani hari-hari Ramadhan yang semakin baik dan bertambah baik dari tahun ke tahun.  Kalau sudah ada semangat, usaha ke arah itu secara lebih nyata akan lebih mudah, insya Allah. Untuk menjalani Ramadhan secara lebih baik hendaknya dimulai sejak sebelum kedatangannya.  Sambut Ramadhan dengan melakukan berbagai persiapan. BERSIAP UNTUK MENYAMBUTNYA Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat pun dulu sangat bersemangat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Mereka serius mempersiapkan diri agar bisa memasuki bulan Ramadhan dan melakukan berbagai amalan dengan penuh keimanan, keikhlasan, semangat, giat, dan tidak merasakannya sebagai beban. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut Ramadhan, tamu yang istimewa ini.Untuk memudahkan mungkin bentuk persiapan bisa kita rincikan sebagai berikut: 1. Persiapan Nafsiyah Yang dimaksudkan dengan mempersiapkan nafsiyah adalah menyambut dengan hati gembira bahwasanya Ramadhan datang sebagai bulan untuk mendekatkan diri pada Allah Subhanahu waTa’ala. Jiwa yang siap memandang Ramadhan bukan sebagai bulan penuh beban, melainkan bulan untuk berlomba meningkatkan kualitas ubudiyah dan meraih derajat tertinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.Persiapan nafsiyah merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya memetik manfaat sepenuhnya dari ibadah puasa. Tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa) akan melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakalan, dan berbagai amalan hati lainnya, yang akan menuntun seseorang kepada jenjang Ibadah yang berkualitas dengan kuantitas optimal. Seorang yang menjalani ibadah puasa di Bulan Ramadhan tanpa memiliki kesiapan secara nafsiyah dikhawatirkan puasanya akan menjadi kurang bermakna atau bahkan sia-sia, lebih parah lagi jika menjadi gugur.Persiapan penting yang harus kita takukan adalah persiapan mental. Mempersiapkan diri secara mental tidak lain adalah mempersiapkan ruhiyah kita serta membangkitkan suasana keimanan dan memupuk spirit ketakwaan kita. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak amal ibadah. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberikan contoh kepada kita semua. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.Ummul Mukmin Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:

“Aku belum pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan dan aku belum pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa dibandingkan pada bulan Sya’ban.”1

Puasa bulan Sya’ban itu demikian penting dan memiliki keutamaan yang besar dari pada puasa pada bulan lainnya, tentu selain bulan Ramadhan. Sedemikian pentingnya dan utamanya sampai Imran bin Hushain menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seorang sahabat,

“Apakah engkau berpuasa pada akhir bulan (Sya’ban) ini?’ Laki-laki itu menjawab, Tidak!’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian bersabda kepadanya, ‘Jika engkau telah selesai menunaikan puasa Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya.”2

Walhasil, puasa Sya’ban, di samping berbuah pahala yang besar dan keutamaan di sisi Allah, merupakan sarana latihan guna menyongsong datangnya Ramadhan. 2. Persiapan Tsaqafiyah Untuk dapat meraih amalan di bulan Ramadhan secara optimal diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai fiqh al-Shiyam. Oleh karena itu persiapan tsaqafiyah tidak kalah penting bagi seseorang untuk mendapatkan perhatian yang serius. Dengan pemahaman fikih puasa yang baik seseorang akan memahami dengan benar, mana perbuatan yang dapat merusak nilai shiyamnya dan mana perbuatan yang dapat meningkatkan nilai dan kualitas shiyamnya. Orang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya. Suatu amal perbuatan tanpa dilandasi ilmu, kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara berpuasa yang benar sesuai syariat Islam. Jembatan menuju kebenaran adalah ilmu, dan siapa yang menempuh perjalanan hidupnya dalam rangka menuntut ilmu maka Allah Subhanahu wa Taala akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan [memudahkan] dengannya jalan dari jalan-jalan kesurga”3

3. Persiapan Jasadiyah Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas Ramadhan banyak memerlukan kekuatan fisik, untuk shiyamnya, tarawihnya, tilawahnya, dan aktivitas ibadah lainnya. Dengan kondisi fisik yang baik akan lebih mampu melakukan ibadah tersebut tanpa terlewatkan sedikitpun, insya allah. Bila kondisi fisik tidak prima akan berpotensi besar kesulitan melaksanakannya amaliyah tersebut dengan maksimal, bahkan dapat terlewatkan begitu saja. Padahal bila terlewatkan nilai amaliah Ramadhan tidak semuanya bisa tergantikan pada bulan yang lain. 4. Persiapan Maliyah Hendaknya persiapan materi ini tidak dipahami sekadar untuk beli pakaian baru, bekal perjalanan pulang kampung atau untuk membeli pernik-pernik jajanan ‘Idul fithri. Hendaknya maliyah yang ada dipersiapkan untuk infaq, sedekah, dan zakat. Sebab nilai balasan infak dan sedekah akan dilipatgandakan sebagaimana kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap amal bani Adam dilipatgandakan, kebaikan diganjar sepuluh kali lipat yang sepadan dengannya hingga sampai 700 kali lipat, bahkan hingga sampai kepada apa yang Allah kehendaki. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu untukku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. la meninggalkan syahwat dan makannya hanya karena Aku.’Bagi orahg yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan tatkalaia berbuka dan kegembiraan tatkala ia bertemu dengan Rabb-nya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu adalah lebih harum di sisi Allah dibandingkan harumnya kesturi.”4

Bulan Ramadhan merupakan bulan muwasah (santunan). Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain, betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat oleh orang yang tidak punya, manakala ia memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun cuma sebuah kurma, seteguk air, atau sesendok nasi.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan ini sangat dermawan, sangat pemurah. Digambarkan bahwa sentuhan kebaikan dan santunan Rdsulullah Shallallahu Alaihi waSallam kepada masyarakat sampai merata, lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di sekitarnya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma,

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau akan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril. Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan kepadanya al-Quran. Sungguh, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.”5

Santunan dan sikap ini sudah barang tentu sulit dilakukan dengan baik jika tidak ada persiapan materi yang memadai. Termasuk dalam persiapan maliyah adalah mempersiapkan dana, sehingga tidak terpikir beban ekonomi untuk keluarga, agar dapat beri’tikaf dengan tenang. Untuk itu, mesti dicari tabungan dana yang mencukupi kebutuhan di bulan Ramadhan. PADATI  DENGAN AKTIVITAS KEBAIKAN Persiapan-persiapan tersebut akan lebih membantu kita dalam menapaki hari-hari Ramadhan dengan lebih baik, insya Allah.  Sebelumnya kita perlu menumbuhkan motivasi dengan melakukan perenungan untuk mendapatkan kesadaran betapa besarnya keutamaan shiyam.  Banyak hadits yang bisa membangkitkan motivasi tersebut.  Di antaranya adalah:

“Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah pintu yang disebut Royyan.  Orang-orang yang berpuasa masuk darinya pada hari kiamat, dan tidak ada seorang pun selain mereka yang dapat  memasukinya.  Apabila mereka telah memasukinya, pintu tersebut ditutup, dan tidak ada lagi seorang pun yang dapat memasukinya.”((Shahih al-Bukhari juz 7 hal.174 no.1896))

Dengan meyakini dan menyadari keutaman orang yang berpuasa, kita akan terlecut untuk menjalani dengan baik,  Hendaknya kita pun menyiapkan program-program amal kebaikan yang akan kita lakukan selama bulan Ramadhan.  Ramadhan mestinya ktia padati dengan aktivitas kebaikan.Sebaliknya, berbagai keburukan yang sebelumnya dianggap sepele, saat Ramadhan harus kita jauhi sekuat mungkin.  Banyak hadits yang memberikan peringatan kepada kita agar membuang jauh-jauh perbuatan sia-sia demi tercapainya kualitas puasa kita.  Puasa menuntut dan menuntun kita menjadi orang yang berakhlak baik, menjauhi kekufuran, menjauhi mencela agama, dan menjauhi muamalah yang buruk terhadap manusia.  Puasa itu mendidik kebaikan jiwa dan tidak memperburuk akhlak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengumpat dan berkata kasar.  Apabila ada seorang yang mencela atau menganiayanya, maka katakanlah sesungguhnya aku adalah orang yang tengah berpuasa”6

Dengan berbagai uraian di atas kita berharap di Ramadhan kali ini tidak termasuk dalam jajaran yang disinyalir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidaklah mendapatkan dari puasanya melainkan hanya dahaga”7

Semoga Ramadhan kita bukanlah sekadar hari-hari lapar dan haus.Kiranya kita mampu menjadikan Ramadhan sebagai bulan ketaatan, untuk mengikatkan diri dengan seluruh syariatnya.Bulan Ramadhan adalah bulan muraqabah.  Shaum yang kita lakukan semoga mampu mengajari kita untuk senantiasa merasa diawasi Allah.  Ramadhan kali ini semoga menjadi bulan pengorbanan kita di jalan Allah.  Kita coba, paling tidak, untuk berkorban dengan menahan rasa lapar dan haus demi meraih derajat ketakwaan kepada-Nya. Takwa adalah puncak pencapaian ibadah shaum ramadhan.Perwujudan takwa secara individu tidak lain adalah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.Adapun perwujudan takwa secara kolektif adalah dengan menerapkan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan oleh kaum muslimin.  Inilah kiranya timbangan bahwa Ramadhan kali ini lebih baik.


diketik Ulang oleh Sutikno dari Majalah Fatawa, rubrik ‘Aktual’ halamanan: 8-11 edisi khusus Ramadhan-Syawwal 1430, Agustus-September 2009


Catatan kaki:

  1. Shahih al-Bukhari juz VII hal. 298 no. 1969 []
  2. Shahih Muslim juz II hal. 818 no.200 dan Sunan Abi Dawud juz VII hal. 112 no.2330 []
  3. Sunan Abi Dawud juz 11 hal. 34 no. 3643 []
  4. Shahih Muslim juz III hal. 158 no. 2763 []
  5. Shahih al-Bukhari juz I hal. 6 no. 6 []
  6. Shahih wa Dhaif al Jami’ al Shaghir juz XVI hal.424 no.7777 []
  7. Musnad Ahmad juz II hal.441 no.9682 []

– See more at: http://jilbab.or.id/archives/701-untuk-ramadhan-yang-lebih-baik/#sthash.Rjh9lVcd.dpuf

Untuk Ramadhan Yang Lebih Baik

August 13, 2009. Dikirim Sutikno bin Tumingan dalam Fiqih Muslimah, Puasa | 8 komentar

Ramadhan adalah satu dari dua belas nama bulan dalam setahun. Karena itu setiap tahun Ramadhan datang menjumpai kita. Banyak yang merasa beruntung karena telah berkali-kali menjumpai kedatangan bulan Ramadhan.  Artinya, bisa berkali-kali pula berpuasa di bulan Ramadhan.Pertanyaannya adalah, apakah amal perbuatan kita selama puasa Ramadhan dari tahun ke tahun sudah berkualitas. Ataukah Ramadhan sekadar dirasakan sebagai bulan yang datang sebagai rutinitas dengan puasa dan sibuk menyiapkan menu pilihan buka bersama? Atau jangan-jangan kita masih merasakan kedatangan bulan Ramadhan sebagai beban karena harus berpuasa selama sebulan utuh? Jawaban untuk pertanyaan itu bisa beragam antara satu orang dengan yang lain.  Tetapi, idealnya, setiap orang mempunyai semangat yang sama untuk menjalani hari-hari Ramadhan yang semakin baik dan bertambah baik dari tahun ke tahun.  Kalau sudah ada semangat, usaha ke arah itu secara lebih nyata akan lebih mudah, insya Allah. Untuk menjalani Ramadhan secara lebih baik hendaknya dimulai sejak sebelum kedatangannya.  Sambut Ramadhan dengan melakukan berbagai persiapan. BERSIAP UNTUK MENYAMBUTNYA Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat pun dulu sangat bersemangat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Mereka serius mempersiapkan diri agar bisa memasuki bulan Ramadhan dan melakukan berbagai amalan dengan penuh keimanan, keikhlasan, semangat, giat, dan tidak merasakannya sebagai beban. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut Ramadhan, tamu yang istimewa ini.Untuk memudahkan mungkin bentuk persiapan bisa kita rincikan sebagai berikut: 1. Persiapan Nafsiyah Yang dimaksudkan dengan mempersiapkan nafsiyah adalah menyambut dengan hati gembira bahwasanya Ramadhan datang sebagai bulan untuk mendekatkan diri pada Allah Subhanahu waTa’ala. Jiwa yang siap memandang Ramadhan bukan sebagai bulan penuh beban, melainkan bulan untuk berlomba meningkatkan kualitas ubudiyah dan meraih derajat tertinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.Persiapan nafsiyah merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya memetik manfaat sepenuhnya dari ibadah puasa. Tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa) akan melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakalan, dan berbagai amalan hati lainnya, yang akan menuntun seseorang kepada jenjang Ibadah yang berkualitas dengan kuantitas optimal. Seorang yang menjalani ibadah puasa di Bulan Ramadhan tanpa memiliki kesiapan secara nafsiyah dikhawatirkan puasanya akan menjadi kurang bermakna atau bahkan sia-sia, lebih parah lagi jika menjadi gugur.Persiapan penting yang harus kita takukan adalah persiapan mental. Mempersiapkan diri secara mental tidak lain adalah mempersiapkan ruhiyah kita serta membangkitkan suasana keimanan dan memupuk spirit ketakwaan kita. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak amal ibadah. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberikan contoh kepada kita semua. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.Ummul Mukmin Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:

“Aku belum pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan dan aku belum pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa dibandingkan pada bulan Sya’ban.”1

Puasa bulan Sya’ban itu demikian penting dan memiliki keutamaan yang besar dari pada puasa pada bulan lainnya, tentu selain bulan Ramadhan. Sedemikian pentingnya dan utamanya sampai Imran bin Hushain menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seorang sahabat,

“Apakah engkau berpuasa pada akhir bulan (Sya’ban) ini?’ Laki-laki itu menjawab, Tidak!’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian bersabda kepadanya, ‘Jika engkau telah selesai menunaikan puasa Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya.”2

Walhasil, puasa Sya’ban, di samping berbuah pahala yang besar dan keutamaan di sisi Allah, merupakan sarana latihan guna menyongsong datangnya Ramadhan. 2. Persiapan Tsaqafiyah Untuk dapat meraih amalan di bulan Ramadhan secara optimal diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai fiqh al-Shiyam. Oleh karena itu persiapan tsaqafiyah tidak kalah penting bagi seseorang untuk mendapatkan perhatian yang serius. Dengan pemahaman fikih puasa yang baik seseorang akan memahami dengan benar, mana perbuatan yang dapat merusak nilai shiyamnya dan mana perbuatan yang dapat meningkatkan nilai dan kualitas shiyamnya. Orang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya. Suatu amal perbuatan tanpa dilandasi ilmu, kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara berpuasa yang benar sesuai syariat Islam. Jembatan menuju kebenaran adalah ilmu, dan siapa yang menempuh perjalanan hidupnya dalam rangka menuntut ilmu maka Allah Subhanahu wa Taala akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan [memudahkan] dengannya jalan dari jalan-jalan kesurga”3

3. Persiapan Jasadiyah Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas Ramadhan banyak memerlukan kekuatan fisik, untuk shiyamnya, tarawihnya, tilawahnya, dan aktivitas ibadah lainnya. Dengan kondisi fisik yang baik akan lebih mampu melakukan ibadah tersebut tanpa terlewatkan sedikitpun, insya allah. Bila kondisi fisik tidak prima akan berpotensi besar kesulitan melaksanakannya amaliyah tersebut dengan maksimal, bahkan dapat terlewatkan begitu saja. Padahal bila terlewatkan nilai amaliah Ramadhan tidak semuanya bisa tergantikan pada bulan yang lain. 4. Persiapan Maliyah Hendaknya persiapan materi ini tidak dipahami sekadar untuk beli pakaian baru, bekal perjalanan pulang kampung atau untuk membeli pernik-pernik jajanan ‘Idul fithri. Hendaknya maliyah yang ada dipersiapkan untuk infaq, sedekah, dan zakat. Sebab nilai balasan infak dan sedekah akan dilipatgandakan sebagaimana kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap amal bani Adam dilipatgandakan, kebaikan diganjar sepuluh kali lipat yang sepadan dengannya hingga sampai 700 kali lipat, bahkan hingga sampai kepada apa yang Allah kehendaki. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu untukku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. la meninggalkan syahwat dan makannya hanya karena Aku.’Bagi orahg yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan tatkalaia berbuka dan kegembiraan tatkala ia bertemu dengan Rabb-nya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu adalah lebih harum di sisi Allah dibandingkan harumnya kesturi.”4

Bulan Ramadhan merupakan bulan muwasah (santunan). Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain, betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat oleh orang yang tidak punya, manakala ia memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun cuma sebuah kurma, seteguk air, atau sesendok nasi.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan ini sangat dermawan, sangat pemurah. Digambarkan bahwa sentuhan kebaikan dan santunan Rdsulullah Shallallahu Alaihi waSallam kepada masyarakat sampai merata, lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di sekitarnya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma,

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau akan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril. Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan kepadanya al-Quran. Sungguh, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.”5

Santunan dan sikap ini sudah barang tentu sulit dilakukan dengan baik jika tidak ada persiapan materi yang memadai. Termasuk dalam persiapan maliyah adalah mempersiapkan dana, sehingga tidak terpikir beban ekonomi untuk keluarga, agar dapat beri’tikaf dengan tenang. Untuk itu, mesti dicari tabungan dana yang mencukupi kebutuhan di bulan Ramadhan. PADATI  DENGAN AKTIVITAS KEBAIKAN Persiapan-persiapan tersebut akan lebih membantu kita dalam menapaki hari-hari Ramadhan dengan lebih baik, insya Allah.  Sebelumnya kita perlu menumbuhkan motivasi dengan melakukan perenungan untuk mendapatkan kesadaran betapa besarnya keutamaan shiyam.  Banyak hadits yang bisa membangkitkan motivasi tersebut.  Di antaranya adalah:

“Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah pintu yang disebut Royyan.  Orang-orang yang berpuasa masuk darinya pada hari kiamat, dan tidak ada seorang pun selain mereka yang dapat  memasukinya.  Apabila mereka telah memasukinya, pintu tersebut ditutup, dan tidak ada lagi seorang pun yang dapat memasukinya.”((Shahih al-Bukhari juz 7 hal.174 no.1896))

Dengan meyakini dan menyadari keutaman orang yang berpuasa, kita akan terlecut untuk menjalani dengan baik,  Hendaknya kita pun menyiapkan program-program amal kebaikan yang akan kita lakukan selama bulan Ramadhan.  Ramadhan mestinya ktia padati dengan aktivitas kebaikan.Sebaliknya, berbagai keburukan yang sebelumnya dianggap sepele, saat Ramadhan harus kita jauhi sekuat mungkin.  Banyak hadits yang memberikan peringatan kepada kita agar membuang jauh-jauh perbuatan sia-sia demi tercapainya kualitas puasa kita.  Puasa menuntut dan menuntun kita menjadi orang yang berakhlak baik, menjauhi kekufuran, menjauhi mencela agama, dan menjauhi muamalah yang buruk terhadap manusia.  Puasa itu mendidik kebaikan jiwa dan tidak memperburuk akhlak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengumpat dan berkata kasar.  Apabila ada seorang yang mencela atau menganiayanya, maka katakanlah sesungguhnya aku adalah orang yang tengah berpuasa”6

Dengan berbagai uraian di atas kita berharap di Ramadhan kali ini tidak termasuk dalam jajaran yang disinyalir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidaklah mendapatkan dari puasanya melainkan hanya dahaga”7

Semoga Ramadhan kita bukanlah sekadar hari-hari lapar dan haus.Kiranya kita mampu menjadikan Ramadhan sebagai bulan ketaatan, untuk mengikatkan diri dengan seluruh syariatnya.Bulan Ramadhan adalah bulan muraqabah.  Shaum yang kita lakukan semoga mampu mengajari kita untuk senantiasa merasa diawasi Allah.  Ramadhan kali ini semoga menjadi bulan pengorbanan kita di jalan Allah.  Kita coba, paling tidak, untuk berkorban dengan menahan rasa lapar dan haus demi meraih derajat ketakwaan kepada-Nya. Takwa adalah puncak pencapaian ibadah shaum ramadhan.Perwujudan takwa secara individu tidak lain adalah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.Adapun perwujudan takwa secara kolektif adalah dengan menerapkan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan oleh kaum muslimin.  Inilah kiranya timbangan bahwa Ramadhan kali ini lebih baik.


diketik Ulang oleh Sutikno dari Majalah Fatawa, rubrik ‘Aktual’ halamanan: 8-11 edisi khusus Ramadhan-Syawwal 1430, Agustus-September 2009


Catatan kaki:

  1. Shahih al-Bukhari juz VII hal. 298 no. 1969 []
  2. Shahih Muslim juz II hal. 818 no.200 dan Sunan Abi Dawud juz VII hal. 112 no.2330 []
  3. Sunan Abi Dawud juz 11 hal. 34 no. 3643 []
  4. Shahih Muslim juz III hal. 158 no. 2763 []
  5. Shahih al-Bukhari juz I hal. 6 no. 6 []
  6. Shahih wa Dhaif al Jami’ al Shaghir juz XVI hal.424 no.7777 []
  7. Musnad Ahmad juz II hal.441 no.9682 []

– See more at: http://jilbab.or.id/archives/701-untuk-ramadhan-yang-lebih-baik/#sthash.Rjh9lVcd.dpuf

Untuk Ramadhan Yang Lebih Baik

August 13, 2009. Dikirim Sutikno bin Tumingan dalam Fiqih Muslimah, Puasa | 8 komentar

Ramadhan adalah satu dari dua belas nama bulan dalam setahun. Karena itu setiap tahun Ramadhan datang menjumpai kita. Banyak yang merasa beruntung karena telah berkali-kali menjumpai kedatangan bulan Ramadhan.  Artinya, bisa berkali-kali pula berpuasa di bulan Ramadhan.Pertanyaannya adalah, apakah amal perbuatan kita selama puasa Ramadhan dari tahun ke tahun sudah berkualitas. Ataukah Ramadhan sekadar dirasakan sebagai bulan yang datang sebagai rutinitas dengan puasa dan sibuk menyiapkan menu pilihan buka bersama? Atau jangan-jangan kita masih merasakan kedatangan bulan Ramadhan sebagai beban karena harus berpuasa selama sebulan utuh? Jawaban untuk pertanyaan itu bisa beragam antara satu orang dengan yang lain.  Tetapi, idealnya, setiap orang mempunyai semangat yang sama untuk menjalani hari-hari Ramadhan yang semakin baik dan bertambah baik dari tahun ke tahun.  Kalau sudah ada semangat, usaha ke arah itu secara lebih nyata akan lebih mudah, insya Allah. Untuk menjalani Ramadhan secara lebih baik hendaknya dimulai sejak sebelum kedatangannya.  Sambut Ramadhan dengan melakukan berbagai persiapan. BERSIAP UNTUK MENYAMBUTNYA Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat pun dulu sangat bersemangat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Mereka serius mempersiapkan diri agar bisa memasuki bulan Ramadhan dan melakukan berbagai amalan dengan penuh keimanan, keikhlasan, semangat, giat, dan tidak merasakannya sebagai beban. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut Ramadhan, tamu yang istimewa ini.Untuk memudahkan mungkin bentuk persiapan bisa kita rincikan sebagai berikut: 1. Persiapan Nafsiyah Yang dimaksudkan dengan mempersiapkan nafsiyah adalah menyambut dengan hati gembira bahwasanya Ramadhan datang sebagai bulan untuk mendekatkan diri pada Allah Subhanahu waTa’ala. Jiwa yang siap memandang Ramadhan bukan sebagai bulan penuh beban, melainkan bulan untuk berlomba meningkatkan kualitas ubudiyah dan meraih derajat tertinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.Persiapan nafsiyah merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya memetik manfaat sepenuhnya dari ibadah puasa. Tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa) akan melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakalan, dan berbagai amalan hati lainnya, yang akan menuntun seseorang kepada jenjang Ibadah yang berkualitas dengan kuantitas optimal. Seorang yang menjalani ibadah puasa di Bulan Ramadhan tanpa memiliki kesiapan secara nafsiyah dikhawatirkan puasanya akan menjadi kurang bermakna atau bahkan sia-sia, lebih parah lagi jika menjadi gugur.Persiapan penting yang harus kita takukan adalah persiapan mental. Mempersiapkan diri secara mental tidak lain adalah mempersiapkan ruhiyah kita serta membangkitkan suasana keimanan dan memupuk spirit ketakwaan kita. Salah satu caranya adalah dengan memperbanyak amal ibadah. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberikan contoh kepada kita semua. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.Ummul Mukmin Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan:

“Aku belum pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan dan aku belum pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa dibandingkan pada bulan Sya’ban.”1

Puasa bulan Sya’ban itu demikian penting dan memiliki keutamaan yang besar dari pada puasa pada bulan lainnya, tentu selain bulan Ramadhan. Sedemikian pentingnya dan utamanya sampai Imran bin Hushain menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seorang sahabat,

“Apakah engkau berpuasa pada akhir bulan (Sya’ban) ini?’ Laki-laki itu menjawab, Tidak!’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian bersabda kepadanya, ‘Jika engkau telah selesai menunaikan puasa Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya.”2

Walhasil, puasa Sya’ban, di samping berbuah pahala yang besar dan keutamaan di sisi Allah, merupakan sarana latihan guna menyongsong datangnya Ramadhan. 2. Persiapan Tsaqafiyah Untuk dapat meraih amalan di bulan Ramadhan secara optimal diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai fiqh al-Shiyam. Oleh karena itu persiapan tsaqafiyah tidak kalah penting bagi seseorang untuk mendapatkan perhatian yang serius. Dengan pemahaman fikih puasa yang baik seseorang akan memahami dengan benar, mana perbuatan yang dapat merusak nilai shiyamnya dan mana perbuatan yang dapat meningkatkan nilai dan kualitas shiyamnya. Orang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya. Suatu amal perbuatan tanpa dilandasi ilmu, kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara berpuasa yang benar sesuai syariat Islam. Jembatan menuju kebenaran adalah ilmu, dan siapa yang menempuh perjalanan hidupnya dalam rangka menuntut ilmu maka Allah Subhanahu wa Taala akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan [memudahkan] dengannya jalan dari jalan-jalan kesurga”3

3. Persiapan Jasadiyah Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas Ramadhan banyak memerlukan kekuatan fisik, untuk shiyamnya, tarawihnya, tilawahnya, dan aktivitas ibadah lainnya. Dengan kondisi fisik yang baik akan lebih mampu melakukan ibadah tersebut tanpa terlewatkan sedikitpun, insya allah. Bila kondisi fisik tidak prima akan berpotensi besar kesulitan melaksanakannya amaliyah tersebut dengan maksimal, bahkan dapat terlewatkan begitu saja. Padahal bila terlewatkan nilai amaliah Ramadhan tidak semuanya bisa tergantikan pada bulan yang lain. 4. Persiapan Maliyah Hendaknya persiapan materi ini tidak dipahami sekadar untuk beli pakaian baru, bekal perjalanan pulang kampung atau untuk membeli pernik-pernik jajanan ‘Idul fithri. Hendaknya maliyah yang ada dipersiapkan untuk infaq, sedekah, dan zakat. Sebab nilai balasan infak dan sedekah akan dilipatgandakan sebagaimana kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap amal bani Adam dilipatgandakan, kebaikan diganjar sepuluh kali lipat yang sepadan dengannya hingga sampai 700 kali lipat, bahkan hingga sampai kepada apa yang Allah kehendaki. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu untukku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. la meninggalkan syahwat dan makannya hanya karena Aku.’Bagi orahg yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan tatkalaia berbuka dan kegembiraan tatkala ia bertemu dengan Rabb-nya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu adalah lebih harum di sisi Allah dibandingkan harumnya kesturi.”4

Bulan Ramadhan merupakan bulan muwasah (santunan). Sangat dianjurkan memberi santunan kepada orang lain, betapapun kecilnya. Pahala yang sangat besar akan didapat oleh orang yang tidak punya, manakala ia memberi kepada orang lain yang berpuasa, sekalipun cuma sebuah kurma, seteguk air, atau sesendok nasi.Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan ini sangat dermawan, sangat pemurah. Digambarkan bahwa sentuhan kebaikan dan santunan Rdsulullah Shallallahu Alaihi waSallam kepada masyarakat sampai merata, lebih merata ketimbang sentuhan angin terhadap benda-benda di sekitarnya. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma,

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau akan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril. Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan kepadanya al-Quran. Sungguh, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.”5

Santunan dan sikap ini sudah barang tentu sulit dilakukan dengan baik jika tidak ada persiapan materi yang memadai. Termasuk dalam persiapan maliyah adalah mempersiapkan dana, sehingga tidak terpikir beban ekonomi untuk keluarga, agar dapat beri’tikaf dengan tenang. Untuk itu, mesti dicari tabungan dana yang mencukupi kebutuhan di bulan Ramadhan. PADATI  DENGAN AKTIVITAS KEBAIKAN Persiapan-persiapan tersebut akan lebih membantu kita dalam menapaki hari-hari Ramadhan dengan lebih baik, insya Allah.  Sebelumnya kita perlu menumbuhkan motivasi dengan melakukan perenungan untuk mendapatkan kesadaran betapa besarnya keutamaan shiyam.  Banyak hadits yang bisa membangkitkan motivasi tersebut.  Di antaranya adalah:

“Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah pintu yang disebut Royyan.  Orang-orang yang berpuasa masuk darinya pada hari kiamat, dan tidak ada seorang pun selain mereka yang dapat  memasukinya.  Apabila mereka telah memasukinya, pintu tersebut ditutup, dan tidak ada lagi seorang pun yang dapat memasukinya.”((Shahih al-Bukhari juz 7 hal.174 no.1896))

Dengan meyakini dan menyadari keutaman orang yang berpuasa, kita akan terlecut untuk menjalani dengan baik,  Hendaknya kita pun menyiapkan program-program amal kebaikan yang akan kita lakukan selama bulan Ramadhan.  Ramadhan mestinya ktia padati dengan aktivitas kebaikan.Sebaliknya, berbagai keburukan yang sebelumnya dianggap sepele, saat Ramadhan harus kita jauhi sekuat mungkin.  Banyak hadits yang memberikan peringatan kepada kita agar membuang jauh-jauh perbuatan sia-sia demi tercapainya kualitas puasa kita.  Puasa menuntut dan menuntun kita menjadi orang yang berakhlak baik, menjauhi kekufuran, menjauhi mencela agama, dan menjauhi muamalah yang buruk terhadap manusia.  Puasa itu mendidik kebaikan jiwa dan tidak memperburuk akhlak. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengumpat dan berkata kasar.  Apabila ada seorang yang mencela atau menganiayanya, maka katakanlah sesungguhnya aku adalah orang yang tengah berpuasa”6

Dengan berbagai uraian di atas kita berharap di Ramadhan kali ini tidak termasuk dalam jajaran yang disinyalir oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya,

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidaklah mendapatkan dari puasanya melainkan hanya dahaga”7

Semoga Ramadhan kita bukanlah sekadar hari-hari lapar dan haus.Kiranya kita mampu menjadikan Ramadhan sebagai bulan ketaatan, untuk mengikatkan diri dengan seluruh syariatnya.Bulan Ramadhan adalah bulan muraqabah.  Shaum yang kita lakukan semoga mampu mengajari kita untuk senantiasa merasa diawasi Allah.  Ramadhan kali ini semoga menjadi bulan pengorbanan kita di jalan Allah.  Kita coba, paling tidak, untuk berkorban dengan menahan rasa lapar dan haus demi meraih derajat ketakwaan kepada-Nya. Takwa adalah puncak pencapaian ibadah shaum ramadhan.Perwujudan takwa secara individu tidak lain adalah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.Adapun perwujudan takwa secara kolektif adalah dengan menerapkan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan oleh kaum muslimin.  Inilah kiranya timbangan bahwa Ramadhan kali ini lebih baik.


diketik Ulang oleh Sutikno dari Majalah Fatawa, rubrik ‘Aktual’ halamanan: 8-11 edisi khusus Ramadhan-Syawwal 1430, Agustus-September 2009


Catatan kaki:

  1. Shahih al-Bukhari juz VII hal. 298 no. 1969 []
  2. Shahih Muslim juz II hal. 818 no.200 dan Sunan Abi Dawud juz VII hal. 112 no.2330 []
  3. Sunan Abi Dawud juz 11 hal. 34 no. 3643 []
  4. Shahih Muslim juz III hal. 158 no. 2763 []
  5. Shahih al-Bukhari juz I hal. 6 no. 6 []حفظه الله تعالحفظه الله تعال
  6. Shahih wa Dhaif al Jami’ al Shaghir juz XVI hal.424 no.7777 []
  7. Musnad Ahmad juz II hal.441 no.9682 []

– See more at: http://jilbab.or.id/archives/701-untuk-ramadhan-yang-lebih-baik/#sthash.Rjh9lVcd.dpuf

˙·•● Wolusongo Indonesia ●•·

WOLUSONGO 8